Di Hari Jadi Bima ke-383, 5 Juli 2023, Antara Pejabat & Bromocorah
Antara pejabat dan bromocorah kini sulit dibedakan. Itu karena piandel bromocorah yang tergaris dalam molimo jadi amalan utama. Hasrat pengasah sikap asih, asuh, dan ketauladanan tergadai. Akibatnya, banyak pejabat di Bima yang mondar mandir dipanggil Kejaksaan Tinggi. Tidak menguri-uri menjadi macan meninggalkan tutulnya. Tidak juga meninggalkan nama harum.
Figur-figur penuh sinyal bermasalah ada di negeri yang dikenal serambi Makkah ke-2 setelah Aceh. Mereka mengumbar syahwat tanpa kendali. Pejabat adalah pemimpin. Dia pengarep (terdepan). Lokomotif yang menyeret gerbong-gerbong. Dia pembawa kebaikan, motor perubahan, mesin penggerak dari harapan dan keinginan rakyat agar lebih baik. Kebaikan yang terangkum dalam filosofi Maja Labo Dahu. Adil, makmur dan sejahtera tergadaikan.
Dalam budaya Bima, pejabat negeri seperti ini secara dogmatis tersurat dalam ajaran Sultan Salahuddin. Sebuah ajaran untuk menyiapkan lahir dan batin calon pemimpin agar siap tampil sebagai pemimpin. Sikap dan tabiatnya meniru delapan unsur alam. Mitologisnya mengejawantah dalam personifikasi karakter para dewa.
Watak yang diperjuangkan itu hakekatnya adalah perlawanan terhadap nafsu diri sendiri. Mengekang sikap dasar manusia yang tercela. Mengangkat keluhuran dan keagungan budi pekerti agar menjadi tauladan rakyat yang dipimpinnya. Sebab, pejabat memang bukan manusia biasa. Dia manusia pilihan yang semestinya menjauhi hedonisme, arogansi, dan kegilaan terhadap keduniawian.
Ritus macam itu wajib dijalankan calon pemimpin dan para pemimpin di suatu negeri. Itu karena pemimpin seperti ini bukan kepala rampok, begal, atau kecu. Dia seumur-umur harus teguh dalam ‘keprihatinan’, dan berkesadaran, bahwa kelak dia tidak lagi merambah dunia umaroh, tetapi menuju kadewatan, aula ulama yang semerbak wangi kembang. Keharuman sikap dan laku yang dikenang sepanjang zaman.
Untuk itu sebagai kewajiban bromocorah diharamkan bagi pejabat negeri. Madon (main perempuan) tabu, maling (korupsi) malu-maluin, mabuk (minuman keras) dijauhi, main (berjudi) disingkiri, apalagi sampai madat (mengkonsumsi sabu).
Tapi belakangan ini, ajaran bromocorah itu justru yang banyak diamalkan. Dari bulan ke bulan, terus menerus bergelimpangan dengan perangai rendahan. Mereka ngeyel seakan-akan tidak berbuat seraya berlagak suci. Bahkan acap melakukan perlawanan dengan berbagai cara yang memalukan, mencederai rasa keadilan akar rumput, menginjak-injak dan merusak tatanan negerinya. Padahal mereka sudah kaya dan terhormat. Sudah terpenuhi segala fasilitas dan hajat hidup sekeluarganya.
Kita sering bertanya-tanya, mengapa pejabat yang kelihatan baik-baik dan berasal dari keluarga mapan itu akhirnya menjadi bromocorah saat pegang kekuasaan? Dimanakah letak virus perusak moral itu berada? Adakah karena partai politik yang kini sebagai kawah candradimukanya, hukum yang mengganjar ringan bagi yang bersalah, atau memang sudah mengurat-akar pada mental yang rapuh ketika menerima amanah (berkuasa)?
Jika yang terakhir itu sebagai jawabannya, alangkah tragisnya negeri yang dikenal agamis itu. Lebih dramatis lagi, jika sebab itu seperti sinyalemen almarhum Putra Kahir. Pemimpin negeri ini korup, karena belum waktunya tampil memerintah dan belum siap memimpin. Jadinya, para pemimpin itu mempola dirinya sebagai penjajah, dan melihat rakyatnya sebagai manusia yang dijajah.
Kendati menyakitkan, tetapi sinyalemen itu bisa dibenarkan. Apologianya, para pemimpin berpendidikan tinggi dengan ekonomi mapan seharusnya melahirkan kebijakan yang adiluhung. Punya kemauan keras untuk mengangkat harkat dan derajat rakyat. Serta menjunjung tinggi martabatnya sebagai pemimpin. Itu buah dari olah nalar dan olah rasa sebagai intelektual.
Tapi yang terjadi, para pemimpin negeri ini justru mendekonstruksi derajatnya. Masih mengurusi isi perutnya dengan korupsi, dan meliarkan nafsu kelaminnya sebagai homo minus sapiens. Padahal itu adalah tabiat bromocorah, manusia tercela yang amat dicela banyak manusia. Adakah memang bromocorah yang kini tampil sebagai memimpin di negeri Bima?
Mungkin terlalu sarkastis jika dijawab. Tapi dalam peradaban, manusia-manusia yang masih mementingkan urusan kelamin dan perut memang dikategorikan sebagai manusia yang tidak beradab. Kalaulah beradab, itu merupakan peradaban paling rendah. Peradaban manusia primitive yang mendekati hewan, perilaku hewan dengan hukum rimba.
Tidak beradabkah para pemimpin kita? Sudah beradabkah rakyat negeri ini? Mudah-mudahan yang beradab masih banyak, kendati pemimpin yang belum beradab tampil disana-sini. Selamat berhari jadi Bima-ku. HMT, Pemerhati Sosial Bima