oleh

H.Abbas bin H.Syahrir bin Abdurrahim,Ayahku Teladan Yang Super Sabar

H.Abbas bin H.Syahrir, bin Abdurrahim, Ayahku Teladan Yang Super Sabar

Perawakan dan postur tubuhnya tinggi langsing. Suaranya pelan. Murah senyum dan ramah kepada siapapun. Ucapannya bermakna. Selalu mengajak orang akan kebaikan. Beliau adalah H.Abbas bin H.Syahrir bin Abdurrahim, yang biasa disapa Guru Obi.

Pada masa kecilnya di akhir kekuasaan Kolonial Belanda yang diganti penjajahan Jepang, Abbas kecil mnempuh pendidikan, istilah jaman dahulu Sekolah Kitab, istilah sekarang Madrasah Ibtidaiyah. Sekolah di jaman susah, apalagi telah ditinggal oleh ibu tercinta dipanggil Sang Khalik, menambah nestapa dan penderitaan, namun dengan kesabaran dan ketaatan kepada orang tua, sehingga Abbas dapat menyelesaikan pendidikannya.

Sebelum dipanggil menjadi guru, setelah tamat sekolah Abbas diangkat oleh masyarakat menjadi LEBE muda di desanya. Lebe adalah jabatan tertinggi agama di desa, yang bertanggung jawab sebagai khatib Jum’at dan urusan agama di masyarakat. Disebut Lebe muda, karena ia belum memiliki istri.

Karena langkanya orang-orang yang bersekolah saat itu, sehingga setelah tamat sekolah dan menjadi Lebe, Abbas diangkat menjadi guru agama, yang mendapat tugas di Ende Flores.

Ende Flores beda pulau dengan tempat kelahiran Abbas. Pada saat itu, keberanian untuk merantau dianggap langka, apalagi menyeberang lautan. Kemudian dihadapkan lagi oleh kebengisan penjajah Jepang. Namun atas kesepakatan keluarga dan didorong keinginan sendiri, sehingga Abbas bertekad untuk menerima dan berangkat menuju tempat tugas di Ende.

Untuk menuju Ende, satu-satunya transportasi adalah Kapal Layar. Dengan waktu tempuh yang tidak bisa diprediksi, karena bergantung pada tiupan angin. Jika dihadapkan dengan arah angin yang berlawanan tentu akan memakan waktu lebih lama lagi. Apalagi rute yang dilalui harus melewati Selat Gilibanta yang terkenal ganas karena airnya berputar. Dan sudah banyak kapal-kapal yang tenggelam di tempat itu.

Semua hal itu, sudah dipertimbangkan oleh Abbas. Sehingga tekad dan penyerahan diri kepada Sang Khalik membuyarkan rasa was-was dan keraguan yang menghalangi.

Selama di Ende sekitar tiga tahun pengabdian. Abbas bukan hanya mengabdi sebagai guru di sekolah, tetapi ia mengamalkan ilmunya untuk menjadi guru ngaji di masyarakat. Hasil dari ketulusan dan keikhlasan ternyata tidak pernah dilupakan oleh anak didiknya, yang rata-rata sudah menjadi pejabat di berbagai instansi pemerintah.

Tiba saatnya, Abbas dimutasi ke Sumbawa. Linangan air mata menghantarnya ke pelabuhan Ende. Ole-ole dan cendera mata dari masyarakat maupun dari murid-muridnya menumpuk, karena hal itulah yang dapat mereka perbuat sebagai tanda hormat dan terimakasih kepada gurunya.

Menjalani tugas di Sumbawa, Abbas tidak lagi sepi karena kesendirian, tetapi telah ditemani pujaan hati bernama Aisyah. Praktis menjalani hidup lebih ringan karena ada yang membantu dalam urusan di luar mengajar. Aktifitasnya di Sumbawa, bahkan lebih intens untuk mengajar di luar sekolah, hingga saatnya ia dipindah ke daerah kelahirannya yaitu Bima.

Ada cerita menarik, saat bertugas di Sape Bima. Hal ini diceritakan oleh orang lain bernama Jamaluddin. Dicoba ditanya langsung kepada beliau saat masih hidup, jawabnya “gak usah bicara begitu,” beliau langsung mengalihkan.

Begini cerita Jamaluddin : “Saya baru kali itu menemukan orang yang super sabar. Ada orang asli Sape yang salah faham kepada beliau, lalu diajaknya duel pake pisau. Orang Sape sangat dikenal temperamen dan suka main pisau jika berantam… Abbas yang biasa disapa Guru Obi, karena tidak tau masalah dan tidak mau dan malu untuk berantam, lalu beliau minta maaf, tetapi orang itu tidak mau terima, dan tetap maksa untuk duel. Lebih dari 10x beliau meminta maaf dan bahkan memohon sambil jongkok ke kaki orang tadi. Namun dia tetap emosi dan ingin duel. Karena tertutup untuk minta maaf, sehingga beliau pun bersedia menerima tantangannya, sambil berkata, ‘ini golok saya, beliau serahkan goloknya kepada orang tadi. Dan ijinkan saya untuk pegang golokmu’ ucap Guru Obi. Saya lihat dengan mata kepala sendiri, golok orang itu meleleh di tangan Guru Obi. Karena kajadian itu, orang tadi ciut dan berbalik minta maaf kepada Guru Obi. Dan jadilah mereka sebagai sahabat hingga akhir hayatnya.

Entah itu ngigo beliau, atau ucapan dari suatu kesadaran, bahwa 40 hari menjelamg wafatnya beliau berpesan, “Biakan saya di rumah saja, jangan lagi dibawa ke rumah sakit. Tunggu saja hari Jum’at saya akan pergi menghadap Allah. Benar saja tiga Jum’at setelah ucapannya, usai salaman dan saling minta maaf, tepat pukul 11.00 waktu Indonesia tengah di hari Jum’at tanggal 15/11/1991, beliau hembuskan napas terakhir untuk kembali kepada Rabb-nya yang selama ini, beliau imani, patuh dan tunduk akan perintaNya.