oleh

Refleksi Akhir Tahun 2023, Tentang Pol Huk HAM. Rezim Culas Bikin Demokrasi Mundur

Refleksi Akhir Tahun 2023, Tentang Pol Huk HAM. Rezim Culas Bikin Demokrasi Mundur

Oleh : Endang K Sobirin
Wartawan Polisi News

Refleksi Akhir Tahun 2023 Menkum dan HAM, Yasonna H. Laoly menyebut perjalanan Kemenkumham di Tahun 2023 memang tidak mulus, ada beberapa kejadian atau peristiwa yang menimpa. Sebagai Menterinya Jokowi, pandangan Yasona tentu mencerminkan pendapatnya yang jujur terhadap kondisi Hukum dan HAM di era Jokowi.

Namun demikian menurut Yasona, Kegagalan bukan menjadi hambatan tapi menjadi pemacu untuk lebih waspada, lebih peduli dan berhati-hati bertindak dan berprilaku dalam menjalankan birokrasi yang baik”, ujar Menkumham dalam Refleksi Akhir Tahun 2023, Kamis (14/12).

“Refleksi ini menjadi momen untuk menghargai prestasi, belajar dari pengalaman yang hadapi, dan bersyukur atas semua yang capai. Setiap kegagalan menyimpan pelajaran berharga, dan setiap kesuksesan memerlukan dedikasi dan inovasi serta kerja keras”, ujar Menkumham.

Dua periode Presiden Jokowi telah nyata membawa demokrasi mundur ke era yang lebih culas ketimbang Rezim Ordebaru. Berbagai kebijakan yang tidak sesuai dengan prinsip HAM dan keberlanjutan lingkungan, maupun pasal-pasal karet dalam KUHP dan UU ITE.

Rezim ini berhasil merampas ruang hidup rakyat, merampas kemerdekaan berekspresi, berpikir, berpendapat, dan berorganisasi. Ruang sipil semakin menyempit (shrinking civic space).

Salah satu ciri mencolok sekaligus sebagai warisan di ujung masa pemerintahan Jokowi adalah adanya regulasi-regulasi anti demokrasi. Hal ini ditandai dengan proses legislasi yang mengabaikan prinsip partisipasi warga secara bermakna (meaningful participation) sekaligus substansi melenceng jauh dari kepentingan publik.

Beberapa contoh Perppu Cipta Kerja. Walaupun telah inkonstitusional secara bersyarat dan diperintahkan untuk diperbaiki berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Pada 30 Desember 2022, alih-alih diperbaiki, Pemerintah justru menerbitkan Perppu 2/2022 tentang UU Cipta Kerja. Pada 21 Maret 2023.

DPR memperparah situasi dengan menggelar rapat paripurna yang menghasilkan kesepakatan untuk menyetujui Perppu 2/2022 tentang UU Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.

Hal tersebut jelas merupakan jalan culas penguasa untuk tetap memberlakukan substansi UU Cipta Kerja tanpa harus memperbaiki melalui proses legislasi. Seolah tidak puas selundupkan pasal-pasal anti demokrasi, Pemerintah dan DPR mengesahkan revisi kedua UU ITE. Beberapa norma dalam UU ITE mengadopsi dari UU KUHP. Walau berulang kali diprotes, hingga menunjukkan bukti dampak pasal-pasal ITE yang selama ini digunakan untuk mengkriminalisasi masyarakat. Pembuat undang-undang tetap tidak menghapus pasal terkait. Misalnya, tindak pidana menyerang kehormatan atau nama baik orang lain, dan pasal pemberitahuan bohong atau informasi menyesatkan.

Tidak mengherankan substansi UU ini bermasalah. Secara formil tidak transparan dan tidak partisipatif. Pendapat masyarakat sipil tidak pernah dijadikan pertimbangan dalam proses pembahasannya.

Tiga tahun pasca UU Cipta Kerja disahkan, telah melahirkan kasus-kasus pelanggaran HAM. Tampak nyata bahwa regulasi tersebut memfasilitasi pengusaha. Dengan beragam alasan mengebiri hak buruh. Banyak kasus pelanggaran hak-hak normatif buruh/pekerja. Tercatat 120 kasus perburuhan (Nov 2022 s/d Oktober 2023).

Info dari pengaduan LBH Jakarta. Terdapat 8 kasus terkait PHK sepihak, 63 kasus terkait hak normatif seperti upah, lembur, tunjangan hari raya (THR), jam kerja dan lain-lain, serta 3 kasus terkait buruh migran. Sementara itu, kasus pidana perburuhan tercatat 39 kasus. Sisanya terkait masalah pekerja gig economy, serikat buruh dan lain-lain.

Di sisi yang bersamaan, investasi dan pembangunan merupakan mantra pokok Presiden. Tak ubahnya dengan Rezim Orde baru, Jokowi melanggengkan berbagai cara demi memuluskan agenda oligarki yang meminggirkan hak warga. Tak terkecuali hak atas tanah. Selama November 2022 hingga Oktober 2023, LBH Jakarta telah menerima pengaduan sebanyak 115 kasus konflik agraria dan 7 kasus penggusuran paksa.

Hak-hak terdampak dalam sejumlah kasus tersebut di antaranya hak atas standar hidup yang layak, hak atas kesehatan, hak dari perlindungan atas kekerasan aparat, hak perumahan yang layak, dan lain-lain.

Aksi-aksi buruh, mahasiswa dan berbagai kelompok tidak lepas dari represifitas dan kriminalisasi. Presiden merestui aparat kepolisian melakukan tindakan brutal. Rakyat ditangkap disiksa, bahkan diburu.

Respons represif paling brutal dapat dilihat ketika kepolisian menangani aksi demonstrasi pada May Day 2019, aksi Bawaslu 21-23 Mei 2019, aksi Reformasi Dikorupsi 23-30 September 2019, hingga aksi protes penolakan Omnibus Law di berbagai wilayah. Represifitas ini memakan ratusan korban hingga meninggalnya beberapa mahasiswa di beberapa wilayah.

Di tengah rendahnya indeks demokrasi dan menguatnya oligarki, masih banyak upaya yang patut dirayakan selama setahun terakhir. LBH Jakarta bersama klien, komunitas dampingan, dan jaringan kerja telah menorehkan berbagai bentuk langkah advokasi. Meski kepercayaan terhadap lembaga peradilan kian terkikis, tahun ini LBH Jakarta masih menempuh jalur litigasi sebagai ikhtiar mendorong independensi dan profesionalisme lembaga peradilan. Tak kalah penting, proses litigasi ini kerap menjadi alasan dan medium warga untuk berkonsolidasi dan berkampanye.

Beberapa kasus diantaranya, gugatan terkait pemutusan akses terhadap 8 situs layanan internet, aplikasi game dan platform digital (Permenkominfo No.5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat); gugatan perbuatan melawan hukum terhadap KLHK melalui PTUN Jakarta terkait artikel opini Erik Meijaard dan Julie Sherman berjudul “Orangutan Conservation Needs Agreement on Data and Trends”; gugatan (Onrechtmatige Overheidsdaad–OOD) atas pemusnahan SDN Pondok Cina 1 terhadap Walikota Depok; gugatan warga Kampung Bayam terhadap Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan PT. Jakarta Propertindo (JakPro) ke PTUN Jakarta; praperadilan menguji keabsahan penyidikan dan pelanggaran hak tersangka (John Sondang) di PN Jakarta Selatan; serta praperadilan ganti rugi dan rehabilitasi M. Fikri (korban salah tangkap dan penyiksaan).

Upaya non litigasi juga terus ditempuh. Misalnya dalam kasus PSN Kampung Bulak, warga mengadukan kasus ke lembaga-lembaga HAM. Warga berharap Komnas HAM dapat maksimalkan perannya melakukan mediasi hingga mengeluarkan rekomendasi kepada pihak pemerintah untuk menjamin keamanan bermukim (secure of tenure).

Lembaga lainnya yang seringkali menjadi tujuan advokasi berbagai isu adalah Komnas Perempuan, Ombudsman RI, Kompolnas, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan lain-lain. Selain itu, juga melakukan pertemuan-pertemuan audiensi dengan pihak pemerintah terkait kasus dan kebijakan.

Untuk memperpanjang nafas perjuangan, tahun ini LBH Jakarta lakukan upaya merawat dan memperluas Probono Clearing House (PCH) dan Paralegal Komunitas. Tahun ini, LBH Jakarta berhasil mengajak 12 Advokat individu dan 4 kantor hukum terlibat dalam mekanisme rujukan Advokat Pro Bono. Langkah ini merupakan cara memperluas akses bantuan hukum, mengingat timpangnya jumlah pengacara publik jika dibandingkan dengan jumlah pencari keadilan.

“Penyelesaian pelanggaran HAM yang berat di Indonesia menjadi satu materi yang selama ini banyak jadi perbincangan nasional,” ucap Wakil Ketua Bidang Eksternal Komnas HAM Abdul Haris Semendawai saat menjadi narasumber Kuliah Umum: “Penyelesaian Pelanggaran HAM yang Berat di Indonesia” di Fakultas Hukum Universitas Tadulako, Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (29/9/2023).

Di Indonesia ada 17 kasus peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi, antara lain Peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius tahun 1982-1985, Talangsari 1989, Trisakti, Semanggi I dan II, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Wasior 2001-2002, Wamena 2003, Pembunuhan Dukun Santet 1998, Peristiwa Simpang KAA 1999, Jambu Keupok 2003, Rumah Geudong 1989-1998, Timang Gajah 2000-2003 dan Kasus Paniai 2014. Seluruh peristiwa tersebut sudah diselidiki oleh Komnas HAM.

Dari belasan peristiwa diselidiki Komnas HAM, Semendawai mengatakan empat peristiwa yaitu, Timor-Timur, Tanjung Priok, Abepura dan Paniai telah memiliki keputusan pengadilan. Meskipun hasilnya belum memberikan keadilan bagi para korban.

Penyelesaian pelanggaran HAM yang berat dapat dilakukan melalui dua mekanisme, yaitu yudisial dan non yudisial. “Melalui pengadilan jadi penyelesaiannya dilakukan dengan cara diselesaikan melalui pengadilan yaitu pelakunya diproses lewat pengadilan yaitu pengadilan hak asasi manusia kalau di Indonesia,” terang Semendawai.

Dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Semendawai menjelaskan Komnas HAM diberikan kewenangan untuk melakukan penyelidikan peristiwa pelanggaran HAM yang berat. “Untuk peristiwa pelanggaran HAM yang berat penyelidikan dilakukan oleh Komnas HAM. Tetapi penyidik Jaksa Agung,” ujarnya.

Sementara itu, pemerintah telah mengupayakan penyelesaian melalui mekanisme non yudisial dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 untuk mengakui terjadinya 12 kasus pelanggaran HAM berat. Untuk mewujudkan penyelesaian dan pemulihan yang serius, pemerintah telah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 2023 dan Inpres Nomor 2 Tahun 2003.

Semendawai memandang pemulihan kepada korban khusus untuk korban yang ada di Sulawesi Tengah yang akan dilakukan pada awal Oktober 2023 sebagai bentuk konkret dari pemberian pemulihan kepada korban. “Jadi ini menunjukkan bahwa sesungguhnya pemerintah sudah mengakui bahwa korban pelanggaran HAM yang berat. Mereka mengakui bahwa pernah terjadi peristiwa pelanggaran HAM yang berat dan mereka mau memberikan pemulihan kepada korban,” ucapnya.

Semendawai menilai kebijakan yang telah dilakukan pemerintah merupakan suatu hal kemajuan yang bisa dirasakan oleh korban. “Meskipun demikian, tentunya upaya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat melalui mekanisme yudisial tetap kita upayakan terus supaya pelaku-pelaku yang paling bertanggung jawab atas peristiwa itu bisa diproses, keadilan korban juga terpenuhi,” lanjutnya.

Komnas HAM sendiri berkomitmen mendorong terwujudnya pemulihan hak korban dengan mengeluarkan Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM (SKKPHAM). Rentang tahun 2012-Agustus 2023, Komnas HAM telah mengeluarkan 6.953 SKKPHAM. SKKPHAM digunakan korban untuk mendapatkan layanan medis dan psikososial dari Lembaga Perlindungan Saksi dan korban (LPSK), maupun lembaga pemerintah terkait yang memiliki kewenangan untuk memberikan pelayanan sosial.