oleh

Tatapan Sunyi Dalam Gemerlapan Ibukota

Tatapan Sunyi Dalam Gemerlapan Ibukota Oleh : Teo Wawo

Jakarta tempatnnya orang beradu nasib. Yang lemah bisa tergusur dan tersingkir. Yang kuat berjaya dan merajalela. Tuntutan hidup telah mengabaikan moral dan etika. Glamor dan gemerlapan ibu kota kian menggoda, sehingga duit dianggap segala-galanya.

Anggapan demikian tidak semua benar. Sebab masih banyak orang-orang yang konsisten dengan akhlak dan moral. Seperti halnya bapak tua yang berjualan cemilan di sisi sebuah stasiun di kawasan Jakarta Pusat. Ia kokoh dengan prinsipnya, bahwa Tuhan tidak akan pernah mengabaikan hamba-hambaNya yang taat.

Saat senja ramai orang-orang pulang kerja, seorang Mbak cantik, melewati tempat bapak tua itu berjualan. Ia tertarik dengan cemilan yang dijual bapat tersebut. Mbak cantik itu anggap saja Lina (bukan nama sebenarnya). Dari penampilan dan pakaiannya Mbak Lina adalah karyawati BUMN bonafid yang terkenal.

Aku mau beli tiga bungkus kripiknya ya pak. Berapa harganya?,” tanya Lina. Bapak tua itu sambil nunduk menjawab, “15 ribu Mbak.” Lina kemudian memberikan selembar uang kertas 100 ribu. “Berapa uangnya ini Mbak?,” sambil pegang uang tersebut bapak tua itu bertanya. Dalam hati Lina, kok orang ini bertanya bagitu. Tetapi Lina tidak peduli, langsung saja menjawab, “100 ribu pak…!”

Bapak tua itu lalu sibuk merogok kantungnya untuk mengeluarkan uang kembaliannya. Hampir semua uang yang ada di kantongnya dikeluarin olehnya sambil ditaruh di tatakan jualannya. Setelah terasa cukup untuk kembalian, lalu ia mempersilakan kepada Lina untuk mengambil sendiri kembaliannya. “Silakan ambil sendiri kembaliannya Mbak,” pintanya. Seketika Lina terkejut mendengar ucapan si bapak, yang menyuruh ambil sendiri uang kembaliannya.

Karena dianggap aneh, Lama Lina memperhatikan si bapak. Astagfirullah… ternyata ia tidak bisa melihat karena buta, sehingga kepada semua pembeli disuruhnya untuk mengambil sendiri barang dan uang kembaliannya. Terpikir oleh Lina, “bagaimana jika tangan-tangan jahil disuruh untuk mengambil sendiri barang dan kembaliannya. Apa mereka bisa jujur?. Semoga saja,” kata Lina dalam hati.

Kemudian spontan Lina berucap, “pak…, kalau saya kasih uang 10 ribu lalu saya ambil kembalinnya 50 ribu, apa bapak ndak khawatir?, tanya Lina kepingin tahu sikap dari bapak tersebut.

Tidak disangka jawaban dari bapak itu, membuat Lina tercengang dan kagum. “Allah tidak akan pernah salah alamat untuk memberikan rejeki kepada hambaNya. Kalau hari ini saya harus rugi, tentu Allah sudah menyiapkan rejeki lain buat saya,” jawabnya yakin.

Kemudian bapak itu melanjutkan, “hidup ini tidak sebatas untung rugi, tapi bagaimana belajar sabar dan ikhlas menerima ketentuan dan takdir Allah. Sebab keridhoan Allah hanya bisa diperoleh dengan patuh kepadaNya,” jawaban itu membuat Lina tertegun malu. Sebab anggapannya selama ini, bahwa kesuksesan dan kemuliaan seseorang itu ditandai dengan banyaknya materi dan harta yang dimilikinya.

Gemetar hati Lina mendengar ungkapan hikmah dari orang yang dianggap lemah dan disepelekan. Terucap dalam batinnya, “Alhamdulillah ya Allah, Engkau pertemukan hambaMu dengan sosok yang mulia ini. Bimbinglah hamba untuk selalu bersyukur dan patuh pada kehendakMu,” ungkap Lina dalam kekagumannya.

Sementara ia masih terkesima, bapak tua itu lanjut bertanya, “sudah diambil kembaliannya Mbak?, tanyanya ramah. Karena mendapatkan pengalaman yang menakjubkan, Lina pun menjawab, “ga usah dikembalikan pak. Hari ini Allah kirim rejeki untuk Jenengan,” ucap Lina berempati. Sambil senyum bapak itu, berucap ‘Alhamdulillah’. “Terima kasih banyak ya Mbak….Hanya Allah yang bisa membalasnya.”

Lina pun beranjak meninggalkan bapak tua itu. Ia bersyukur bahwa kegalauannya selama ini tentang rezeki, yang membuatnya pontang panting hampir separoh waktu dipergunakan untuk meraihnya. Kini mendapatkan jawaban dari seorang bapak tua yang mungkin sering disepelekan karena kesederhanaan dan keterbatasan phisiknya, tentang reziki dan arti dari suatu kehidupan yang sementara ini.