Suara Parau Dari Penjajal Cincau : Oleh Teo Wawo
Suatu sore, saat hari hujan. Seorang bapak tua duduk terpekur di pojok sebuah halte. Kedua matanya basah menatap kuali terlilit anyaman rotan di sampingnya. Kuali yang sudah lumayan berumur sesekali diterpa air hujan yang mengikuti irama angin. Cincau teman akrab saat hari panas, masih banyak di dalam kuali itu.
Handuk kecil yang biasa untuk lap keringat saat hari panas, mengusap air matanya karena, cincau belum ada 10 gelas yang terjual.
Ditariknya nafas panjang-panjang, seakan ingin membuang segala beban yang ada. Dia kemudian berkata lirih, “Pemerintah ingin bunuh kita pelan-pelan, beban hidup sangatlah berat, harga bahan pokok terus melambung. Gimana nasib kita masyarakat miskin gini?”
Karena di halte hanya ada bapak itu, saya, dan seorang pemuda yang asyik bermain HP, maka saya pun mengangguk.
Bapak itu kembali bicara, “Sekarang jualan makin susah. Dapat 20 (ribu) saja seharian sudah bagus. Mau beli gas gak ada uang, minyak tanah gak ada, anak-anak terus merengek minta uang jajan.”
Saya yang duduk dekatnya hanya terdiam. Betapa pedih kemerdekaan ini. Entah kenapa saya terbayang bocah-bocah kecil yang sering dijumpai mengamen di perempatan jalan. Dengan telanjang kaki berbekal kecrekan dari tutup botol, bocah-bocah yang masih cedal mengucap kata, susah payah bernyanyi. Ada juga yang bermain-main di tengah jalan saat lampu merah menyala.
Saya juga ingat di satu malam saat melewati trotoar, bocah-bocah yang masih sangat kecil tertidur nyenyak di trotoar, beratapkan langit. Wajah-wajahnya sangat damai. Mereka saling berpelukan seakan berbagi kehangatan. Mudah-mudahan Allah memberinya mimpi indah. Mimpi tidur di kasur empuk dengan belaian dan dekapan kasih sayang mama papanya.
Tiba di rumah, sambil menikmati secangkir teh, di tv seorang ustadz selebritis tengah ceramah soal ukhuwah. Segera saya matikan tv.
Kemarin, ustadz itu tidak mau hadir di acara pengajian di masjid kampung gara-gara kami tidak mampu menyediakan bayaran sebesar yang dimintanya.
Anggapan nyeleneh dari saya, orang-orang seperti ini hanya menjadikan agamanya sebagai komoditas. Mereka hidup dari Islam, bukan menghidupi Islam.
Sekarang saya yang gantian menghela nafas panjang. Masih begitu banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi. Kita hidup di negeri kaya tapi rakyatnya banyak yang miskin, namun para pejabat dan tokoh umat banyak yang lupa daratan.
Ketika umat masih saja kelaparan walau telah kerja keras memeras keringat dan banting tulang, orang-orang yang katanya pemimpin hanya sibuk mengejar harta dan jabatan.
Para pejabatnya banyak yang hanya sibuk meraup uang umat lewat permainan anggaran. Pejabat lainnya asyik plesir dengan uang rakyat.
Dan satu-satunya yang mampu membuat mereka mendekat ke umat hanya ketika butuh umat, 5 thn sekali. Sebagaimana sekarang, untuk persiapan 2024 sudah banyak promosi diri melalui baliho-baliho raksasa’.
Dan setelah hajatnya usai, maka masyarakat pun kembali diabaikan. Umat hanyalah komoditas, bukan amanah.
Saya teringat Halifah Abu Bakar Siddiq, Umar bin Khattab, yang tergopoh-gopoh memikul tepung untuk rakyatnya yang kelaparan.
Mereka melayani umat dengan tulus, karena di akherat nanti akan dimintakan pertanggung jawaban yang sangar berat.
Saya hanya mengurut dada dan menarik nafas lebih panjang. Dalam munajat malam, berdoa, “Ya Allah, kapankah penderitaan rakyar ini akan berakhir?. (Teo Wawo)