oleh

Abang Kisu…. Suatu Kisah

Kerangka rumah 6 tiang telah berdiri. Abang Kisu senang dan riang. Bangun tidur langsung tertuju pada rumah idamannya. Tersungging senyum bahagia sejuta angan-angan.  “Pokoknya setelah rumah ini selesai, saya akan melamar si Markona anaknya Pak RT,” ucap Abang Kisu menghayal.

Semangat itu membuatnya rajin menyiapkan material untuk penyelaian rumahnya. Setiap hari ia beranjak ke hutan untuk mencari kayu, dengan perbekalan dan keperluan untuk seharian.

Sebulan tanpa istirahat, Abang Kisu berhasil mendapatkan bahan yang diperlukan. “Lelah letih jangan ditanya”. Tapi dengan bayangan Markona merubah semuanya menjadi spririt untuk segera menyelesaikan rumahnya.

Bercucur keringat sebulan, terpikir olehnya untuk ambil cuti. “Kok ada istilah cuti sih Abang Kisu. Kamu kan bukan ASN?,”. tanya temannya. “Hak cuti itu bukan semata milik ASN. Saya pun berhak untuk cuti,” sanggah Abang Kisu.

Yaa begitulah Abang Kisu…. menterjemahkan sesuatu hanya berdasarkan versi sendiri, dan tidak peduli pendapat orang lain. Masa cuti dimanfaatkan juga oleh Abang Kisu untuk mamilih tukang yang cocok biar hasil kerjanya rapi dan enak dipandang. “Kisu…Kisu… seleramu tinggi juga rupanya

Genap 3 bulan pengerjaan dinding rumah berikut ventilasi kelar. Senyum Abang Kisu tambah sumringah dan terkadang senyum sendiri melihat rumahnya. Sedangkan pekerjaan untuk lantai bisa diselesai dalam waktu satu hari. 

Karena angan-angan mendapatkan Markona. Kini Abang Kisu telah beda. Dia rajin tebar pesona. Tadinya tidak pake sandal, sekarang kakinya terbungkus sandal terbuat dari kuli onta. Masalah buduk kakinya tidak terlihat oleh Markona.

Tadinya jarang senyum…, kini bibir Abang Kisu laksana (ma’af) bo’ol ayam hendak bertelur terus bergerak karena obral pesona senyum. Begitu pula rambut ikalnya yang biasa gondrong telah dicukurnya dengan rapi.

Melihat perubahan pada diri Abang Kisu, Pamong desa tergerak hatinya untuk mengetes. Apakah sifat Kisu ikut berubah atau tidak?. Jurus pujian dilakukan Pamong desa, “Kamu beda yaa Abang Kisu, penampilannya kren…!” puji sang pamong. Dijawab oleh Kisu, “apa nggak boleh saya berpenampilan kren. Suka-suka saya dong,” jawabnya.

Pamong desa geleng-geleng kepala dan diakhiri dengan helaan napas panjang mendapatkan jawaban Abang Kisu yang bossy, sengak dan ketus. Ternyata Abang Kisu masih yang dulu, terbiasa memilih kalimat yang menyudutkan orang lain sudah seperti senjata baginya.

Kekecewaan Pak Pamong dengan sikapnya Abang Kisu. Jika ditilik dari ilmu psikologi bahwa, seseorang yang sering kali ketus ketika berkomunikasi, justru biasanya memiliki karakter asli yang inferior. Inferior itu sendiri adalah merasa tidak berdaya.

Penggunaan gaya bicara yang sengak atau ketus bisanya digunakan oleh orang tersebut sebagai cara mempertahan diri untuk menutupi perasaan kerdil atau tidak berdayanya itu. Namun yang ditampilkan kepada umum, seolah-olah dia orang yang hebat dan tahu segalanya.

Gaya bicaranya sengak dan bossy, digunakan agar harga dirinya tidak rendah. Walaupun pada akhirnya, banyak sikapnya yang tidak baik di mata orang lain.

Apakah hal Ini disebabkan Trauma Masa Kecil?
Masa kecil sangat mungkin bisa mempengaruhi perkembangan seseorang sampai dewasa. Boleh jadi dia sering diabaikan atau salah treatment. Misalnya tidak pernah dipuji, sering disalahkan, bahkan dipukul.

Kalau memang dia diperlakukan seperti itu, pada akhirnya dia tidak mengetahui konsep diri. Dia juga tidak tahu bagaimana cara berkomunikasi yang baik dengan orang lain.

Umumnya perilaku ketus dan sengak tidak diperlihatkan pada orang tertentu. Misalnya orang rumah, terutama kedua orang tuanya.

Pada aslinya, dia tetaplah sosok yang inferior. Jadi dia akan tetap merasa lemah terhadap sesuatu yang membuatnya trauma.

Kembali ke Abang Kisu. 4 bulan ia melakukan tebar pesona mendekati Markona dan juga kepada gadis-gadis lainnya. Namun mereka nolak.

Apa hendak dikata, image Abang Kisu terlanjur negative. Gadis-gadis di desanya menjauh dan ogah mendengar nama Abang Kisu apalagi untuk dijadikan istri.

Kecewa pesonanya tidak ngefek… Abang Kisu memilih tiduran di rumah barunya, merenung mencari jalan keluar sambil menghitung kaso dan menguatkan tekad. “Pokoknya harus Nikah. Kalau nggak ada Rotan, Akar pun jadi,” begitu tekadnya Abang Kisu. 

Strategi tebar pesona justru menjadi olok-olokan dan tertawaan banyak orang. Akhirnya Abang Kisu putuskan untuk membidik Akar. Didapatinya (maaf) Janda beranak satu.

Hari-hari menjelang nikah terbayang oleh Abang Kisu, indahnya hidup berumah tangga, senyum Abang Kisu kian sumringah, dan tanpa proses panjang mereka pun menikah, lalu mendiami rumah kebanggaan Abang Kisu.  

Bersambung: Episode berikutnya Anak tiri menjadi sasaran KDRT

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *